HUBUNGAN HUKUM ANTARA DOKTER DENGAN PASIEN By. Arif Budiman, M.Sc.HL.,Med, RSUD Sijunjung, Kab.Sijunjung
Dalam era global yang terjadi
waktu ini, profesi kedokteran merupakan salah satu profesi yang mendapatkan
sorotan masyarakat. Masyarakat banyak yang menyoroti profesi dokter, baik
sorotan yang disampaikan secara langsung ke Ikatan Dokter Indonesia sebagai
induk organisasi para dokter, maupun yang disiarkan melalui media cetak maupun
media elektronik. Ikatan Dokter Indonesia menganggap sorotan-sorotan tersebut
sebagai suatu kritik yang baik terhadap profesi kedokteran, agar para dokter
dapat meningkatkan pelayanan profesi kedokterannya terhadap masyarakat. Ikatan
Dokter Indonesia menyadari bahwa kritik yang muncul tersebut merupakan “puncak
suatu gunung es”, artinya masih banyak kritik yang tidak muncul ke pemukaan
karena keengganan pasien atau keluarganya menganggap apa yang dialaminya
tersebut merupakan sesuatu yang wajar. Bagi Ikatan Dokter Indonesia, banyaknya
sorotan masyarakat terhadap profesi dokter menggambarkan bahwa masyarakat belum
puas dengan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh para dokter.
Sebenarnya
sorotan masyarakat terhadap profesi dokter merupakan satu pertanda bahwa saat
ini sebagian masyarakat belum puas terhadap pelayanan medis dan pengabdian
profesi dokter di masyarakat. Pada umumnya ketidakpuasan para pasien dan
keluarga pasien terhadap pelayanan dokter karena harapannya yang tidak dapat
dipenuhi oleh para dokter, atau dengan kata lain terdapat kesenjangan antara
harapan dan kenyataan yang didapatkan oleh pasien.
Memperoleh
pelayanan kesehatan adalah hak asasi setiap manusia. Pemerintah menyadari
rakyat yang sehat merupakan aset dan tujuan utama dalam mencapai masyarakat
adil makmur. Penyelenggaraan upaya kesehatan dilakukan secara serasi dan
seimbang oleh pemerintah dan masyarakat termasuk swasta. Agar penyelenggaraan
upaya kesehatan itu berhasil guna dan berdaya guna, maka pemerintah perlu
mengatur, membina dan mengawasi baik upayanya maupun sumber dayanya.
Mula-mula
profesi dokter dianggap sebagai suatu profesi yang sangat disanjung-sanjung
karena kemampuannya untuk mengetahui hal-hal yang tidak tampak dari luar.
Bahkan seorang dokter dianggap sebagai rohaniawan yang dapat menyembuhkan
pasien dengan doa-doa.
Dewasa
ini dokter lebih dipandang sebagai ilmuwan yang pengetahuannya sangat
diperlukan untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Kedudukan dan peran dokter
tetap dihormati, tetapi tidak lagi disertai unsur pemujaan. Dari dokter
dituntut suatu kecakapan ilmiah tanpa melupakan segi seni dan artistiknya.
Kesenjangan
yang besar antara harapan pasien dengan kenyataan yang diperolehnya menyusul
dilakukannya merupakan predisposing faktor. Kebanyakan orang kurang
dapat memahami bahwa sebenarnya masih banyak faktor lain di luar kekuasaan
dokter yang dapat mempengaruhi hasil upaya medis, seperti misalnya stadium
penyakit, kondisi fisik, daya tahan tubuh, kualitas obat dan juga kepatuhan
pasien untuk mentaati nasehat dokter. Faktor-faktor tadi dapat mengakibatkan
upaya medis (yang terbaik sekalipun) menjadi tidak berarti apa-apa. Oleh sebab
itu, tidaklah salah jika kemudian dikatakan bahwa hasil suatu upaya medis penuh
dengan uncertainty dan tidak dapat diperhitungkan secara matematik.
Dari
beberapa uraian tersebut, diajukan pokok permasalahan sebagai berikut :
- Apa yang dimaksud dengan hubungan hukum antara dokter dengan pasien.
- Bagaimana bentuk pertanggungjawaban dokter terhadap pasien dalam upaya pelayanan medis.
PEMBAHASAN
- Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien (Transaksi Terapeutik)
- Pola Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien
Hubungan
hukum antara dokter dengan pasien telah terjadi sejak dahulu (jaman Yunani
kuno), dokter sebagai seorang yang memberikan pengobatan terhadap orang yang
membutuhkannya. Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat pribadi karena
didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap dokter yang disebut dengan
transaksi terapeutik2. Hubungan yang sangat pribadi itu oleh Wilson3
digambarkan seperti halnya hubungan antara pendeta dengan jemaah yang sedang
mengutarakan perasaannya. Pengakuan pribadi itu sangat penting bagi eksplorasi
diri, membutuhkan kondisi yang terlindung dalam ruang konsultasi.
Hubungan
hukum antara dokter dengan pasien ini berawal dari pola hubungan vertikal
paternalistik seperti antara bapak dengan anak yang bertolak dari prinsip “father
knows best” yang melahirkan hubungan yang bersifat paternalistik4.
Dalam hubungan ini kedudukan dokter dengan pasien tidak sederajat5
yaitu kedudukan dokter lebih tinggi daripada pasien karena dokter dianggap
mengetahui tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit dan
penyembuhannya. Sedangkan pasien tidak tahu apa-apa tentang hal itu sehingga
pasien menyerahkan nasibnya sepenuhnya di tangan dokter.
Hubungan
hukum timbul bila pasien menghubungi dokter karena ia merasa ada sesuatu yang
dirasakannya membahayakan kesehatannya. Keadaan psikobiologisnya memberikan
peringatan bahwa ia merasa sakit, dan dalam hal ini dokterlah yang dianggapnya
mampu menolongnya, dan memberikan bantuan pertolongan. Jadi, kedudukan dokter
dianggap lebih tinggi oleh pasien, dan peranannya lebih penting daripada
pasien.
Sebaliknya,
dokter berdasarkan prinsip “father knows best” dalam hubungan
paternatistik ini akan mengupayakan untuk bertindak sebagai ‘bapak yang baik’,
yang secara cermat, hati-hati untuk menyembuhkan pasien. Dalam mengupayakan
kesembuhan pasien ini, dokter dibekali oleh Lafal Sumpah dan Kode Etik
Kedokteran Indonesia.
Pola
hubungan vertikal yang melahirkan sifat paternalistik dokter terhadap pasien
ini mengandung baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif pola
vertikal yang melahirkan konsep hubungan paternalistik ini sangat membantu
pasien, dalam hal pasien awam terhadap penyakitnya. Sebaliknya dapat
juga timbul dampak negatif, apabila tindakan dokter yang berupa langkah-langkah
dalam mengupayakan penyembuhan pasien itu merupakan tindakan-tindakan dokter
yang membatasi otonomi pasien, yang dalam sejarah perkembangan budaya dan
hak-hak dasar manusia telah ada sejak lahirnya. Pola hubungan yang vertikal
paternalistik ini bergeser pada pola horizontal kontraktual.
Hubungan ini
melahirkan aspek hukum horisontal kontraktual yang bersifat “inspanningsverbintenis”6
yang merupakan hubungan hukum antara 2 (dua) subyek hukum (pasien dan dokter)
yang berkedudukan sederajat melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang
bersangkutan. Hubungan hukum ini tidak menjanjikan sesuatu (kesembuhan atau
kematian), karena obyek dari hubungan hukum itu berupa upaya dokter berdasarkan
ilmu pengetahuan dan pengalamannya (menangani penyakit) untuk menyembuhkan pasien.
- Saat Terjadinya Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien
Hubungan hukum kontraktual
yang terjadi antara pasien dan dokter tidak dimulai dari saat pasien memasuki
tempat praktek dokter sebagaimana yang diduga banyak orang7, tetapi
justru sejak dokter menyatakan kesediaannya yang dinyatakan secara lisan (oral
statement) atau yang tersirat (implied statement) dengan menunjukkan
sikap atau tindakan yang menyimpulkan kesediaan; seperti misalnya menerima
pendaftaran, memberikan nomor urut, menyediakan serta mencatat rekam medisnya
dan sebagainya. Dengan kata lain hubungan terapeutik juga memerlukan kesediaan
dokter. Hal ini sesuai dengan asas konsensual dan berkontrak.
- Sahnya Transaksi Terapeutik
Mengenai syarat sahnya
transaksi terapeutik didasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
yang menyatakan bahwa untuk syarat sahnya perjanjian diperlukan 4 (empat)
syarat sebagai berikut8 :
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (toestemming van degene die zich verbinden)
Secara yuridis, yang
dimaksud adanya kesepakatan adalah tidak adanya kekhilafan, atau paksaan, atau
penipuan (Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Saat terjadinya perjanjian
bila dikaitkan dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan
saat terjadinya kesepakatan antara dokter dengan pasien yaitu pada saat pasien
menyatakan keluhannya dan ditanggapi oleh dokter. Di sini antara pasien dengan
dokter saling mengikatkan diri pada suatu perjanjian terapeutik yang obyeknya
adalah upaya penyembuhan. Bila kesembuhan adalah tujuan utama maka akan
mempersulit dokter karena tingkat keparahan penyakit maupun daya tahan tubuh
terhadap obat setiap pasien adalah tidak sama. Obat yang sama tidak pasti dapat
hasil yang sama pada masing-masing penderita.
- Kecakapan untuk membuat perikatan (bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan)
Secara yuridis, yang
dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan adalah kemampuan seseorang
untuk mengikatkan diri, karena tidak dilarang oleh undang-undang. Hal ini
didasarkan Pasal 1329 dan 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Menurut Pasal 1329
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Kemudian, di
dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan orang-orang yang
dinyatakan tidak cakap yaitu orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di
bawah pengampuan, orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang
dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang dibuat
perjanjian tertentu.
Di dalam transaksi
terapeutik, pihak penerima pelayanan medis, terdiri dari orang dewasa yang
cakap untuk bertindak, orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak, yang
memerlukan persetujuan dari pengampunya, anak yang berada di bawah umur yang
memerlukan persetujuan dari orang tuanya atau walinya.
Di Indonesia ada
berbagai peraturan yang menyebutkan batasan usia dewasa diantaranya :
- Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 330 dikatakan bahwa belum dewasa ialah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak / belum menikah. Berarti dewasa ialah telah berusia 21 tahun atau telah menikah walaupun belum berusia 21 tahun, bila perkawinannya pecah sebelum umur 21 tahun, tidak kembali dan keadaan belum dewasa.
- Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 47 ayat (1), menyatakan bahwa anak yang belum mencapai 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasannya. Ayat (2), menyatakan bahwa orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Kemudian pasal 50 ayat (1), menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Ayat (2), menyatakan bahwa perwalian ini mengenai pribadi anak maupun harta bendanya.
- Dalam Kompilasi Hukum Islam Bab XIV yang disebarluaskan berdasarkan instruksi presiden nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 tentang Pemeliharaan Anak pasal 98 tercantum :
a) Batas usia anak yang mampu berdiri
sendiri / dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik
atau mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan (ayat (1)).
b) Orang tua yang mewakili anak tersebut mengenai
segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan (ayat (2)).
c) Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang
kerabat dekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang
tuanya tidak mampu (ayat (3)).
Dari berbagai peraturan
tersebut di atas ternyata ada beberapa peraturan yang menyebutkan usia 21 tahun
sebagai suatu batasan usia dewasa. Demikian juga batasan dewasa yang ditentukan
dalam Pasal 8 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
585/Men.Kes/Per/IX/1989, yang ditindaklanjuti dengan SK Dirjen Yan.Med 21 April
1999 yang menyatakan bahwa pasien dewasa sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah
telah berumur 21 tahun atau telah menikah.
- Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp)
Hal tertentu ini yang
dapat dihubungkan dengan obyek perjanjian / transaksi terapeutik ialah upaya
penyembuhan. Oleh karenanya obyeknya adalah upaya penyembuhan, maka hasil yang
diperoleh dari pencapaian upaya tersebut tidak dapat atau tidak boleh dijamin
oleh dokter. Lagi pula pelaksanaan upaya penyembuhan itu tidak hanya bergantung
kepada kesungguhan dan keahlian dokter dalam melaksanakan tugas profesionalnya,
tetapi banyak faktor lain yang ikut berperan, misalnya daya tahan pasien
terhadap obat tertentu, tingkat keparahan penyakit dan juga peran pasien dalam
melaksanakan perintah dokter demi kepentingan pasien itu sendiri.
- Suatu sebab yang sah (geoorloofde oorzaak)
Di dalam Pasal 1337 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang,
apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan
baik atau ketertiban umum. Dengan demikian, yang dimaksud dengan sebab yang sah
adalah sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang, kesusilaan atau ketertiban
umum.
- Informed Consent
Persetujuan tindakan medis
(informed consent) mencakup tentang informasi dan persetujuan, yaitu
persetujuan yang diberikan setelah yang bersangkutan mendapat informasi
terlebih dahulu atau dapat disebut sebagai persetujuan berdasarkan informasi.
Berdasarkan Permenkes 585/1989 dikatakan bahwa informed consent adalah
persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Pada hakekatnya, hubungan
antar manusia tidak dapat terjadi tanpa melalui komunikasi, termasuk juga
hubungan antara dokter dan pasien dalam pelayanan medis. Oleh karena hubungan
antara dokter dan pasien merupakan hubungan interpersonal, maka adanya
komunikasi atau yang lebih dikenal dengan istilah wawancara pengobatan itu
sangat penting. Hasil penelitian King9 membuktikan bahwa
essensi dari hubungan antara dokter dan pasien terletak dalam wawancara
pengobatan. Pada wawancara tersebut para dokter diharapkan untuk secara lengkap
memberikan informasi kepada pasien mengenai bentuk tindakan yang akan atau
perlu dilaksanakan dan juga risikonya.
Bahasa kedokteran banyak
menggunakan istilah asing yang tidak dapat dimengerti oleh orang yang
awam dalam bidang kedokteran. Pemberian informasi dengan menggunakan bahasa
kedokteran, tidak akan membawa hasil apa-apa, malah akan membingungkan pasien.
Oleh karena itu seyogyanya informasi yang diberikan oleh dokter terhadap
pasiennya disampaikan dalam bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh
pasien.
Setelah informasi
diberikan, maka diharapkan adanya persetujuan dari pasien, dalam arti ijin dari
pasien untuk dilaksanakan tindakan medis. Pasien mempunyai hak penuh untuk
menerima atau menolak pengobatan untuk dirinya, ini merupakan hak asasi pasien
yang meliputi hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak atas informasi.
Oleh karena itu sebelum
pasien memberikan persetujuannya diperlukan beberapa masukan sebagai berikut10
: 1) Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan
medis tertentu (yang masih berupa upaya, percobaan) yang diusulkan oleh dokter
serta tujuan yang ingin dicapai (hasil dari upaya, percobaan), 2) Deskripsi
mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tak dinginkan yang
mungkin timbul, 3) Diskripsi mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat
diperoleh pasien, 4) Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur
berlangsung, 5) Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali
persetujuan tanpa adanya prasangka (jelek) mengenai hubungannya dengan dokter
dan lembaganya. 6) Prognosis mengenai kondisi medis pasien bila ia menolak
tindakan medis tertentu (percobaan) tersebut.
Mengenai bentuk informed
consent dapat dilakukan secara tegas atau diam-diam. Secara tegas dapat
disampaikan dengan kata-kata langsung baik secara lisan ataupun tertulis dan informed
consent yang dilakukan secara diam-diam yaitu tersirat dari anggukan kepala
ataupun perbuatan yang mensiratkan tanda setuju.
Informed consent
dilakukan secara lisan apabila tindakan medis itu tidak berisiko, misalnya pada
pemberian terapi obat dan pemeriksaan penunjang medis. Sedangkan untuk tindakan
medis yang mengandung risiko misalnya pembedahan, maka informed consent
dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh pasien.
Yang paling aman bagi
dokter kalau persetujuan dinyatakan secara tertulis, karena dokumen tersebut
dapat dijadikan bukti jika suatu saat muncul sengketa. Cara yang terakhir ini
memang tidak praktis sehingga kebanyakan dokter hanya menggunakan cara ini jika
tindakan medis yang akan dilakukannya mengandung risiko tinggi atau menimbulkan
akibat besar yang tidak menyenangkan.
Di negara-negara maju,
berbagai bentuk formulir persetujuan tertulis sengaja disediakan di setiap
rumah sakit. Rupanya pengalaman menuntut dan digugat menjadikan mereka lebih
berhati-hati. Pada prinsipnya formulir yang disediakan tersebut memuat
pengakuan bahwa yang bersangkutan telah diberi informasi serta telah memahami
sepenuhnya dan selanjutnya menyetujui tindakan medis yang disarankan dokter.
Jadi, pada hakekatnya informed
consent adalah untuk melindungi pasien dari segala kemungkinan tindakan
medis yang tidak disetujui atau tidak diijinkan oleh pasien tersebut, sekaligus
melindungi dokter (secara hukum) terhadap kemungkinan akibat yang tak terduga
dan bersifat negatif.
Yang tidak boleh dilupakan
adalah dalam memberikan informasi tidak boleh bersifat memperdaya,
menekan atau menciptakan ketakutan sebab ketiga hal itu akan membuat persetujuan
yang diberikan menjadi cacat hukum. Sudah seharusnya informasi diberikan oleh
dokter yang akan melakukan tindakan medis tertentu, sebab hanya ia sendiri yang
tahu persis mengenai kondisi pasien dan segala seluk beluk dari tindakan medis
yang akan dilakukan. Memang dapat didelegasikan kepada dokter lain atau
perawat, namun jika terjadi kesalahan dalam memberikan informasi maka yang
harus bertanggung jawab atas kesalahan itu adalah dokter yang melakukan
tindakan medis. Lagi pula dalam proses mendapatkan persetujuan pasien, tidak
menutup kemungkinan terjadi diskusi sehingga memerlukan pemahaman yang memadai
dari pihak yang memberikan informasi.
Ada sebagian dokter
menganggap bahwa informed consent merupakan sarana yang dapat
membebaskan mereka dari tanggung jawab hukum jika terjadi malpraktek. Anggapan
seperti ini keliru besar dan menyesatkan mengingat malpraktek adalah masalah
lain yang erat kaitannya dengan pelaksanaan pelayanan medis yang tidak
sesuai dengan standar. Meskipun sudah mengantongi informed consent
tetapi jika pelaksanaannya tidak sesuai standar maka dokter tetap harus
bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi.
Dari sudut hukum pidana informed
consent harus dipenuhi hal ini berkait dengan adanya Pasal 351 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, tentang penganiayaan. Suatu pembedahan yang
dilakukan tanpa ijin pasien, dapat disebut sebagai penganiayaan dan dengan
demikian merupakan pelanggaran terhadap Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (1, 2, 9). Leenen memberikan contoh (sebagaimana dikutip oleh Ameln)11,
apabila A menusuk / menyayat pisau ke B sehingga timbul luka, maka tindakan
tersebut dapat disebut sebagai penganiayaan. Apabila A adalah seorang dokter,
tindakan tersebut tetap merupakan penganiayaan, kecuali : 1) Orang yang dilukai
(pasien) telah menyetujui. 2) Tindakan medis tersebut (pembedahan yang pada
hakekatnya juga menyayat, menusuk, memotong tubuh pasien) berdasarkan suatu
indikasi medis. 3) Tindakan medis tersebut dilakukan sesuai dengan
kaidah-kaidah ilmu kedokteran yang diakui dalam dunia kedokteran.
Dari sudut hukum perdata informed
consent wajib dipenuhi. Hal ini terkait bahwa hubungan antara dokter dengan
pasien adalah suatu perikatan (transaksi terapeutik) untuk syahnya perikatan
tersebut diperlukan syarat syah dari perjanjian yaitu Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, di antaranya adalah adanya kesepakatan antara
dokter dengan pasien. Pasien dapat menyatakan sepakat apabila telah diberikan
informasi dari dokter yang merawatnya terhadap terhadap terapi yang akan
diberikan serta efek samping dan risikonya. Juga terkait dengan unsur ke-2
(dua) mengenai kecakapan dalam membuat perikatan. Hal ini terkait dengan
pemberian informasi dokter terhadap pasien yang belum dewasa atau yang
ditaruh di bawah pengampuan agar diberikan kepada orang tua, curator
atau walinya.
Pada prinsipnya,
persyaratan untuk memperoleh informed consent dalam tindakan medis
tertentu tidak dibedakan dengan Informed consent yang diperlukan dalam
suatu eksperimen. Hanya saja, dalam eksperimen suatu penelitian baik yang
bersifat terapeutik maupun non-terapeutik yang menggunakan pasien sebagai naracoba,
maka informed consent harus lebih dipertajam, sebab menyangkut
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, pencegahan terjadinya
paksaan dan kesesatan serta penyalahgunaan keadaan.
- Tanggung Jawab Hukum Dokter Terhadap Pasien
- Tanggung Jawab Etis
Peraturan yang mengatur
tanggung jawab etis dari seorang dokter adalah Kode Etik Kedokteran Indonesia
dan Lafal Sumpah Dokter. Kode etik adalah pedoman perilaku. Kode Etik
Kedokteran Indonesia dikeluarkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan no.
434 / Men.Kes/SK/X/1983. Kode Etik Kedokteran Indonesia disusun dengan
mempertimbangkan International Code of Medical Ethics dengan landasan
idiil Pancasila dan landasan strukturil Undang-undang Dasar 1945. Kode Etik
Kedokteran Indonesia ini mengatur hubungan antar manusia yang mencakup
kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter dengan pasiennya, kewajiban
dokter terhadap sejawatnya dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri.
Pelanggaran terhadap
butir-butir Kode Etik Kedokteran Indonesia ada yang merupakan pelanggaran etik
semata-mata dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik dan sekaligus
pelanggaran hukum. Pelanggaran etik tidak selalu berarti pelanggaran hukum,
sebaliknya pelanggaran hukum tidak selalu merupakan pelanggaran etik
kedokteran. Berikut diajukan beberapa contoh :
- Pelanggaran etik murni
- Menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan jasa dari keluarga sejawat dokter dan dokter gigi.
- Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya.
- Memuji diri sendiri di depan pasien.
- Tidak pernah mengikuti pendidikan kedokteran yang berkesinambungan.
- Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri.
- Pelanggaran etikolegal
- Pelayanan dokter di bawah standar.
- Menerbitkan surat keterangan palsu.
- Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter.
- Abortus provokatus.
- Tanggung Jawab Profesi
Tanggung jawab
profesi dokter berkaitan erat dengan profesionalisme seorang dokter. Hal
ini terkait dengan12 :
- Pendidikan, pengalaman dan kualifikasi lain
Dalam menjalankan tugas profesinya seorang dokter
harus mempunyai derajat pendidikan yang sesuai dengan bidang keahlian yang
ditekuninya. Dengan dasar ilmu yang diperoleh semasa pendidikan di fakultas
kedokteran maupun spesialisasi dan pengalamannya untuk menolong penderita.
- Derajat risiko perawatan
Derajat risiko perawatan diusahakan untuk
sekecil-kecilnya, sehingga efek samping dari pengobatan diusahakan minimal
mungkin. Di samping itu mengenai derajat risiko perawatan harus diberitahukan
terhadap penderita maupun keluarganya, sehingga pasien dapat memilih alternatif
dari perawatan yang diberitahukan oleh dokter.
Berdasarkan data responden dokter, dikatakan bahwa
informasi mengenai derajat perawatan timbul kendala terhadap pasien atau
keluarganya dengan tingkat pendidikan rendah, karena telah diberi informasi
tetapi dia tidak bisa menangkap dengan baik.
- Peralatan perawatan
Perlunya dipergunakan pemeriksaan dengan
menggunakan peralatan perawatan, apabila dari hasil pemeriksaan luar kurang
didapatkan hasil yang akurat sehingga diperlukan pemeriksaan menggunakan
bantuan alat. Namun dari jawaban responden bahwa tidak semua pasien bersedia
untuk diperiksa dengan menggunakan alat bantu (alat kedokteran canggih), hal
ini terkait erat dengan biaya yang harus dikeluarkan bagi pasien golongan
ekonomi lemah.
- Tanggung Jawab Hukum
Tanggung jawab hukum
dokter adalah suatu “keterikatan” dokter terhadap ketentuan-ketentuan hukum
dalam menjalankan profesinya.
Tanggung jawab seorang dokter dalam bidang hukum
terbagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu13 :
- Tanggung jawab hukum dokter dalam bidang hukum perdata
- Tanggung Jawab Hukum Perdata Karena Wanprestasi
Pengertian
wanprestasi ialah suatu keadaan dimana seseorang tidak memenuhi
kewajibannya yang didasarkan pada suatu perjanjian atau kontrak.
Pada dasarnya
pertanggungjawaban perdata itu bertujuan untuk memperoleh ganti rugi atas
kerugian yang diderita oleh pasien akibat adanya wanprestasi atau
perbuatan melawan hukum dari tindakan dokter.
Menurut ilmu
hukum perdata, seseorang dapat dianggap melakukan wanprestasi apabila :
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan, melakukan apa yang
dijanjikan tetapi terlambat dan melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak
sebagaimana dijanjikan serta melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak
boleh dilakukannya.
Sehubungan
dengan masalah ini, maka wanprestasi yang dimaksudkan dalam tanggung
jawab perdata seorang dokter adalah tidak memenuhi syarat-syarat yang tertera
dalam suatu perjanjian yang telah dia adakan dengan pasiennya.
Gugatan untuk
membayar ganti rugi atas dasar persetujuan atau perjanjian yang terjadi hanya
dapat dilakukan bila memang ada perjanjian dokter dengan pasien. Perjanjian
tersebut dapat digolongkan sebagai persetujuan untuk melakukan atau berbuat
sesuatu. Perjanjian itu terjadi bila pasien memanggil dokter atau pergi ke
dokter, dan dokter memenuhi permintaan pasien untuk mengobatinya. Dalam hal ini
pasien akan membayar sejumlah honorarium. Sedangkan dokter sebenarnya harus
melakukan prestasi menyembuhkan pasien dari penyakitnya. Tetapi penyembuhan itu
tidak pasti selalu dapat dilakukan sehingga seorang dokter hanya mengikatkan
dirinya untuk memberikan bantuan sedapat-dapatnya, sesuai dengan ilmu dan
ketrampilan yang dikuasainya. Artinya, dia berjanji akan berdaya upaya
sekuat-kuatnya untuk menyembuhkan pasien.
Dalam gugatan
atas dasar wanprestasi ini, harus dibuktikan bahwa dokter itu
benar-benar telah mengadakan perjanjian, kemudian dia telah melakukan wanprestasi
terhadap perjanjian tersebut (yang tentu saja dalam hal ini senantiasa harus
didasarkan pada kesalahan profesi). Jadi di sini pasien harus mempunyai
bukti-bukti kerugian akibat tidak dipenuhinya kewajiban dokter sesuai dengan
standar profesi medis yang berlaku dalam suatu kontrak terapeutik. Tetapi dalam
prakteknya tidak mudah untuk melaksanakannya, karena pasien juga tidak
mempunyai cukup informasi dari dokter mengenai tindakan-tindakan apa saja yang
merupakan kewajiban dokter dalam suatu kontrak terapeutik. Hal ini yang sangat
sulit dalam pembuktiannya karena mengingat perikatan antara dokter dan pasien
adalah bersifat inspaningsverbintenis.
- Tanggung Jawab Perdata Dokter Karena Perbuatan Melanggar Hukum (onrechtmatige daad)
Tanggung jawab
karena kesalahan merupakan bentuk klasik pertanggungjawaban perdata.
Berdasar tiga prinsip yang diatur dalam Pasal 1365, 1366, 1367 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yaitu sebagai berikut :
- Berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pasien dapat
menggugat seorang dokter oleh karena dokter tersebut telah melakukan perbuatan
yang melanggar hukum, seperti yang diatur di dalam Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa : “Tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kesalahan itu, mengganti kerugian tersebut”.
Undang-undang sama
sekali tidak memberikan batasan tentang perbuatan melawan hukum, yang harus
ditafsirkan oleh peradilan. Semula dimaksudkan segala sesuatu yang bertentangan
dengan undang-undang, jadi suatu perbuatan melawan undang-undang. Akan tetapi
sejak tahun 1919 yurisprudensi tetap telah memberikan pengertian yaitu setiap
tindakan atau kelalaian baik yang : (1) Melanggar hak orang lain (2)
Bertentangan dengan kewajiban hukum diri sendiri (3) Menyalahi pandangan etis
yang umumnya dianut (adat istiadat yang baik) (4) Tidak sesuai dengan kepatuhan
dan kecermatan sebagai persyaratan tentang diri dan benda orang seorang dalam
pergaulan hidup.
Seorang dokter
dapat dinyatakan melakukan kesalahan. Untuk menentukan seorang pelaku perbuatan
melanggar hukum harus membayar ganti rugi, haruslah terdapat hubungan erat
antara kesalahan dan kerugian yang ditimbulkan.
- Berdasarkan Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Seorang dokter
selain dapat dituntut atas dasar wanprestasi dan melanggar hukum seperti
tersebut di atas, dapat pula dituntut atas dasar lalai, sehingga menimbulkan
kerugian. Gugatan atas dasar kelalaian ini diatur dalam Pasal 1366 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yang bunyinya sebagai berikut : “Setiap orang
bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau
kurang hati-hatinya”.
- Berdasarkan Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Seseorang harus
memberikan pertanggungjawaban tidak hanya atas kerugian yang ditimbulkan dari
tindakannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakan
orang lain yang berada di bawah pengawasannya. (Pasal 1367 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata).
Dengan demikian maka
pada pokoknya ketentuan Pasal 1367 BW mengatur mengenai pembayaran ganti rugi
oleh pihak yang menyuruh atau yang memerintahkan sesuatu pekerjaan yang
mengakibatkan kerugian pada pihak lain tersebut.
Nuboer Arrest ini
merupakan contoh yang tepat dalam hal melakukan tindakan medis dalam suatu
ikatan tim. Namun dari Arrest tersebut hendaknya dapat dipetik beberapa
pengertian untuk dapat mengikuti permasalahannya lebih jauh. Apabila
dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1367 BW, maka terlebih dahulu perlu diadakan
identifikasi mengenai sampai seberapa jauh tanggung jawab perdata dari para
dokter pembantu Prof. Nuboer tersebut. Pertama-tama diketahui siapakah yang
dimaksudkan dengan bawahan. Adapun yang dimaksudkan dengan bawahan dalam arti
yang dimaksud oleh Pasal 1367 BW adalah pihak-pihak yang tidak dapat bertindak
secara mandiri dalam hubungan dengan atasannya, karena memerlukan pengawasan
atau petunjuk-petunjuk lebih lanjut secara tertentu.
Sehubungan dengan
hal itu seorang dokter harus bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan
oleh bawahannya yaitu para perawat, bidan dan sebagainya. Kesalahan seorang
perawat karena menjalankan perintah dokter adalah tanggung jawab dokter.
- Tanggung jawab hukum dokter dalam bidang hukum pidana
Seiring dengan
semakin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, dalam perkembangan selanjutnya
timbul permasalahan tanggung jawab pidana seorang dokter, khususnya yang
menyangkut dengan kelalaian, hal mana dilandaskan pada teori-teori kesalahan
dalam hukum pidana.
Tanggung jawab
pidana di sini timbul bila pertama-tama dapat dibuktikan adanya kesalahan
profesional, misalnya kesalahan dalam diagnosa atau kesalahan dalam cara-cara
pengobatan atau perawatan.
Dari segi hukum,
kesalahan / kelalaian akan selalu berkait dengan sifat melawan hukumnya suatu
perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Seseorang
dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dapat menginsafi makna yang
senyatanya dari perbuatannya, dapat menginsafi perbuatannya itu tidak dipandang
patut dalam pergaulan masyarakat dan mampu untuk menentukan niat / kehendaknya
dalam melakukan perbuatan tersebut.
Suatu
perbuatan dapat dikategorikan sebagai criminal malpractice apabila
memenuhi rumusan delik pidana yaitu : Perbuatan tersebut harus merupakan
perbuatan tercela dan dilakukan sikap batin yang salah yaitu berupa
kesengajaan, kecerobohan atau kelapaan.
Kesalahan atau
kelalaian tenaga kesehatan dapat terjadi di bidang hukum pidana, diatur antara
lain dalam : Pasal 263, 267, 294 ayat (2), 299, 304, 322, 344, 347, 348, 349,
351, 359, 360, 361, 531 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Ada perbedaan
penting antara tindak pidana biasa dengan ‘tindak pidana medis’. Pada tindak
pidana biasa yang terutama diperhatikan adalah ‘akibatnya’, sedangkan pada
tindak pidana medis adalah ‘penyebabnya’. Walaupun berakibat fatal, tetapi jika
tidak ada unsur kelalaian atau kesalahan maka dokternya tidak dapat
dipersalahkan.
Beberapa
contoh dari criminal malpractice yang berupa kesengajaan adalah
melakukan aborsi tanpa indikasi medis, membocorkan rahasia kedokteran, tidak
melakukan pertolongan seseorang yang dalam keadaan emergency, melakukan eutanasia,
menerbitkan surat keterangan dokter yang tidak benar, membuat visum et
repertum yang tidak benar dan memberikan keterangan yang tidak benar di
sidang pengadilan dalam kapasitas sebagai ahli.
Dalam
literatur hukum kedokteran negara Anglo-Saxon antara lain dari Taylor14
dikatakan bahwa seorang dokter baru dapat dipersalahkan dan digugat menurut
hukum apabila dia sudah memenuhi syarat 4 – D, yaitu : Duty (Kewajiban),
Derelictions of That Duty (Penyimpangan kewajiban), Damage
(Kerugian), Direct Causal Relationship (Berkaitan langsung)
Duty
atau kewajiban bisa berdasarkan perjanjian (ius contractu) atau menurut
undang-undang (ius delicto). Juga adalah kewajiban dokter untuk
bekerja berdasarkan standar profesi. Kini adalah kewajiban dokter pula untuk
memperoleh informed consent, dalam arti wajib memberikan informasi yang
cukup dan mengerti sebelum mengambil tindakannya. Informasi itu mencakup antara
lain : risiko yang melekat pada tindakan, kemungkinan timbul efek sampingan,
alternatif lain jika ada, apa akibat jika tidak dilakukan dan sebagainya.
Peraturan tentang persetujuan tindakan medis (informed consent) sudah
diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585 Tahun 1989.
Penentuan
bahwa adanya penyimpangan dari standar profesi medis (Dereliction of The
Duty) adalah sesuatu yang didasarkan atas fakta-fakta secara kasuistis yang
harus dipertimbangkan oleh para ahli dan saksi ahli. Namun sering kali pasien
mencampuradukkan antara akibat dan kelalaian. Bahwa timbul akibat negatif atau
keadaan pasien yang tidak bertambah baik belum membuktikan adanya kelalaian.
Kelalaian itu harus dibuktikan dengan jelas. Harus dibuktikan dahulu bahwa
dokter itu telah melakukan ‘breach of duty’.
Damage
berarti kerugian yang diderita pasien itu harus berwujud dalam bentuk fisik,
finansial, emosional atau berbagai kategori kerugian lainnya, di dalam
kepustakaan dibedakan : Kerugian umum (general damages) termasuk
kehilangan pendapatan yang akan diterima, kesakitan dan penderitaan dan
kerugian khusus (special damages) kerugian finansial nyata yang harus
dikeluarkan, seperti biaya pengobatan, gaji yang tidak diterima.
Sebaliknya
jika tidak ada kerugian, maka juga tidak ada penggantian kerugian. Direct
causal relationship berarti bahwa harus ada kaitan kausal antara tindakan
yang dilakukan dengan kerugian yang diderita.
- Tanggung jawab hukum dokter dalam bidang hukum administrasi
Dikatakan
pelanggaran administrative malpractice jika dokter melanggar hukum tata
usaaha negara. Contoh tindakan dokter yang dikategorikan sebagai administrative
malpractice adalah menjalankan praktek tanpa ijin, melakukan tindakan medis
yang tidak sesuai dengan ijin yang dimiliki, melakukan praktek dengan menggunakan
ijin yang sudah daluwarsa dan tidak membuat rekam medis.
Menurut peraturan
yang berlaku, seseorang yang telah lulus dan diwisuda sebagai dokter tidak
secara otomatis boleh melakukan pekerjaan dokter. Ia harus lebih dahulu
mengurus lisensi agar memperoleh kewenangan, dimana tiap-tiap jenis
lisensi memerlukan basic science dan mempunyai kewenangan
sendiri-sendiri. Tidak dibenarkan melakukan tindakan medis yang melampaui batas
kewenangan yang telah ditentukan. Meskipun seorang dokter ahli kandungan mampu
melakukan operasi amandel namun lisensinya tidak membenarkan dilakukan tindakan
medis tersebut. Jika ketentuan tersebut dilanggar maka dokter dapat dianggap
telah melakukan administrative malpractice dan dapat dikenai sanksi
administratif, misalnya berupa pembekuan lisensi untuk sementara waktu.
Pasal 11
Undang-Undang No. 6 Tahun 1963, sanksi administratif dapat dijatuhkan terhadap
dokter yang melalaikan kewajiban, melakukan suatu hal yang seharusnya
tidak boleh diperbuat oleh seorang dokter, baik mengingat sumpah jabatannya
maupun mengingat sumpah sebagai dokter, mengabaikan sesuatu yang seharusnya
dilakukan oleh dokter dan melanggar ketentuan menurut atau berdasarkan
Undang-Undang No. 6 Tahun 1963.
PENUTUP
- Simpulan
- Hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam upaya pelayanan medis yang didasarkan atas rasa kepercayaan pasien terhadap dokter dimulai sejak saat pasien mengajukan keluhannya yang ditanggapi oleh dokter
- Tanggung jawab hukum dokter terhadap pasien dalam upaya pelayanan medis :
- Tanggung jawab etik yaitu yang menyangkut moral profesi yang terangkum dalam Lafal Sumpah Dokter dan dijabarkan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia.
- Tanggung Jawab Profesi yaitu tanggung jawab yang berkaitan dengan profesi dokter yang menyangkut kemampuan dan keahlian dokter dalam menjalankan tugas profesinya.
- Tanggung jawab hukum yang meliputi 3 (tiga) bidang hukum, yaitu :
- Tanggung jawab hukum dokter dalam bidang hukum perdata yang terkait dengan aturan-aturan / pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mencakup 2 (dua) hal yaitu :
- Tanggung jawab hukum perdata dokter kepada pasien karena wanprestasi terkait dengan syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimana syarat ke-3 (tiga) mengenai obyeknya harus tertentu tidak dapat terpenuhi, mengingat obyek perikatan antara dokter dengan pasien berupa upaya dokter untuk menyembuhkan pasien secara cermat, hati-hati dan penuh ketegangan (inspanningsverbintenis) sehingga Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dapat serta merta diterapkan dalam perikatan antara dokter dengan pasien.
- Tanggung jawab hukum perdata dokter karena perbuatan melawan hukum. Tanggung jawab hukum perdata dokter karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) ini diatur dalam Pasal 1365, 1366, 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu bahwa dokter harus bertanggung jawab atas kesalahannya yang merugikan pasien dan untuk mengganti kerugian, selain itu dokter harus bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh kelalaian dan kurang hati-hati dalam menjalankan tugas profesionalnya serta dokter harus bertanggung jawab terhadap kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya yang atas perintahnya melakukan perbuatan tersebut.
- Tanggung jawab hukum dokter dalam bidang hukum pidana
Tanggung jawab ini timbul bila karena ada
kesalahan profesional yaitu kesalahan baik dalam diagnosa dan terapi maupun
tindakan medik tertentu yang harus memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu Duty
of Care (kewajiban perawatan), Dereliction of That Duty
(penyimpangan kewajiban), Damage (kerugian), Direct Causal
Relationship (ada kaitannya dengan penyimpangan kewajiban dengan kerugian
yang timbul) yang terdiri dari baik kesengajaan maupun kealpaan.
- Tanggung jawab hukum dokter dalam bidang hukum administrasi
Yaitu tanggung jawab dokter yang berkaitan dengan
persyaratan administrasi yang menyangkut kewenangan dokter dalam menjalankan
tugas profesinya.
Komentar