KODEKI
KODE ETIK
KEDOKTERAN INDONESIA (KODEKI) & REALITANYA DI MASYARAKAT
IDEAL ETIK
Saat ini kode
etik hanya diketahui oleh profesinya itu sendiri, masyarakat tidak tahu bentuk
atau isinya apalagi pelaksanaannya, apakah benar telah dilaksanakan dengan
baik?
Jaman
globalisasi informasi dan teknologi sekarang ini masyarakat hendaknya melek
tentang apapun yang berhubungan dengan kebutuhan hidupnya, termasuk kebutuhan
tentang kesehatan. Sejak perwujudan sejarah kedokteran seluruh umat manusia
mengakui serta mengetahui sifat mendasar/fundamental yang melekat secara mutlak
pada diri seorang dokter yang baik dan bijaksana, kemurnian niat, kesungguhan
kerja, kerendahan hati, integritas ilmiah dan social yang tidak diragukan,
serta mengutamakan kesehatan/keselamatan/kepentingan penderita di atas
segalanya.
KODEKI terdiri
dari 19 pasal, berisi pasal 1 s.d. pasal 9 tentang kewajiban umum, pasal 10
s.d. pasal 14 tentang kewajiban dokter terhadap penderita, pasal 15 dan 16
tentang kewajiban dokter terhadap teman sejawat, pasal 17 dan 18 tentang
kewajiban dokter terhadap diri sendiri, dan pasal 19 penutup.
Penjelasan
KODEKI :
Pasal 1 : “Setiap
dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter”.
Lafal Sumpah
Dokter Indonesia dikukuhkan dengan Peraturan Pemerintah No.26 Tahun 1960 dan
disempurnakan pada Musyawarah Kerja Etik Kedokteran II yang diselenggarakan
pada tanggal 14,15 dan 16 Desember 1981.
Intinya
bersumpah Demi Allah akan membaktikan hidup demi prikemanusiaan, memelihara
martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran, menjalankan tugas bersusila
bermartabat, merahasiakan segala sesuatu yang diketahui karena pekerjaan dan
keilmuan sebagai dokter, tidak akan menyelewengkan pengetahuan keilmuan
walaupun diancam, menghormati hidup sejak pembuahan, mengutamakan kesehatan
penderita, tidak akan terpengaruh oleh pertimbangan agama, suku, kelamin,
penampilan, kedudukan, jabatan penderita, menghormati guru, memperlakukan
sejawat sebagaimana sendiri ingin diperlakukan, menaati dan mengamalkan KODEKI.
Pasal 2 : “Seorang
dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran yang tertinggi”.
Ukuran
tertinggi mempunyai arti menggunakan ilmu kedokteran mutakhir, etika umum,
etika kedokteran, hukum dan agama. Meningkatkan ilmu, melaksanakan profesi
secara ikhlas, jujur, rasa cinta & kasih sayang, serta penampilan tingkah
laku, tutur kata, dan berbagai sifat lain yang terpuji seimbang dengan martabat
jabatan dokter. Konsekuensi yang sangat berat ini tidak hanya bertanggung jawab
terhadap manusia dan hokum akan tetapi terhadap keinsafan bathin dan kepada
Sang Maha Hakim Allah Seru Sekalian Alam.
Pasal 3 : “Dalam
melakukan pekerjaan kedokterannya tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan
keuntungan pribadi”.
Betapa
mulianya pekerjaan dokter, tidak bisa dan tidak boleh disamakan dengan penjual
jasa ataupun pedagang. Harus dihindari dokter menjual obat di tempat praktek,
menjual contoh obat yang diberikan cuma-cuma perusahaan farmasi, mengizinkan
penggunaan nama dan profesi untuk pelayanan kedokteran yang tidak berhak,
melakukan tindakan yang tidak perlu, kunjungan ke penderita seperlunya,
pelayanan konsultasi seperlunya, melakukan usaha menarik perhatian umum dengan
maksug agar praktik lebih dikenal dan pendapatannya bertambah seperti
mempergunakan iklan di surat kabar, papan reklame iklan, dan beriklan di media
televisi, dan meminta imbalan terlebih dahulu sebelum melaksanakan pelayanan.
Pasal 4 :
“Perbutaan berikut dipandang bertentangan dengan etik” : setiap perbuatan
bersifat memuji diri sendiri, secara sendiri atau bersama menerapkan
pengetahuan dan keterampilan kedokteran dalam segala bentuk tanpa kebebasan
profesi, dan menerima imbalan selain daripada jasa yang layak sesuai dengan
jasanya, kecuali dengan keikhlasan sepengetahuan dan atau kehendak penderita.
Tidak
dibenarkan dokter mempergunakan gelar yang tidak resmi tidak diakui
undang-undang peraturan yang berlaku, mengadakan wawancara pers atau menulis di
surat kabar umum hanya untuk mempromosikan dirinya kecuali di majalah
kedokteran itupun harus bersifat penyuluhan bukan promosi bukan pula
menceritakan hasil-hasil kerjanya karena menjadi iklan buat diri sendiri,
membiarkan orang awam menghadiri pembedahan, menyiarkan foto pembedahan dengan
maksud memperkenalkan dokter bedahnya (iklan) bukannya memberikan penerangan
kepada masyarakat, menggantungkan papan nama di tempat praktik tidak sesuai
standar (harusnya : ukuran 40x60 cm atau kurang dari 60x90cm cat putih dengan
huruf hitam, nama gelar yang sah, jenis pelayanan sesuai SIP dan waktu praktik,
tidak boleh dihiasi warna atau penerangan bersifat iklan), menggunakan kertas
resep tidak sesuai standar (harusnya : ¼ folio, nama gelar resmi dan tidak ada
kesan iklan), dokter yang berpraktik ikut serta dalam usaha
apotek/optisien/laboratorium klinik dengan perjanjian akan mengirim penderita
ke tempat itu, mengikatkan diri menjadi propagandis produk perusahaan farmasi,
memberikan imbalan jasa dichotomy dan calo yang membawa penderita ke dokter
tersebut.
Seseorang yang
memberikan keahlian dan tenaganya untuk keperluan orang lain, berhak menerima
upah, demikian pula seorang dokter akan tetapi karena perbuatannya yang sangat
mulia namanya bukan upah atau gaji melainkan honorarium atau imbalan jasa.
Besaran jasa tidak bisa diseragamkan karena tergantung besarnya karya dan tanggung
jawab dokter, situasi kondisi penderita, dasar kebijakan dokter itu sendiri,
pemerintah hanya membuat acuan atau standar minimal.
Pasal 5 :
“Tiap perbuatan atau nasihat yang mungkin melemahkan daya tahan mahluk insane,
baik jasmani maupun rohani hanya diberikan untuk kepentingan penderita.”
Pasal 6 :
“Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan
setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya.”
Pasal 7 :
“Seorang dokter hanya member keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan
kebenarannya.”
Pasal 8 :
“Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus mengutamakan/mendahulukan
kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang
menyeluruh (promotif, preventif, kuratif fan rehabilitative), serta berusaha
menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenarnya.”
Pasal 9 :
“Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan
bidang lainnya serta masyarakat harus memelihara saling pengertian
sebaik-baiknya.”
Pasal 10 :
“Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
makhluk insani.”
Dokter tidak
dibolehkan menggugurkan kandungan (abortus provokatus) dan mengakhiri hidup
(euthanasia).
Pasal 11 :
“Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
keterampilannya untuk kepentingan penderita. Dalam hal ia tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan maka ia wajib merujuk penderita kepada dokter
lain yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.”
Pasal 12 :
“Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada penderita agar senantiasa
dapat berhubungan dengan keluarga dan penasihatnya dalam beribadah dan atau
dalam masalah lainnya,”
Pasal 13 :
“Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang penderita bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia.”
Bila
dilakukannya maka selain akan berhadapan dengan etik akan pula berhadapan
dengan hukum pidana.
Pasal 14 :
“Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya.”
Pasal 15 :
“Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.”
Pasal 16 :
“Setiap dokter tidak boleh mengambil alih penderita dari teman sejawatnya,
tanpa persetujuannya.”
Pasal 17 :
“Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan
baik.”
Pasal 18 :
“Setiap dokter hendaklah senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
tetap setia kepada cita-citanya yang luhur.”
Pasal 19 :
“Penutup.”
KODEKI
janganlah kata-kata belaka, setiap dokter harus berusaha sungguh-sungguh
menghayati dan mengamalkannya dalam pekerjaan sehari-hari agar martabat profesi
tidak akan kehilangan cahaya dan kesuciannya.
REALITA ETIK
1.
Dokter sudah banyak yang menjadi propagandis di media
televisi (iklan jamu, iklan sabun, iklan pasta gigi, dll.). Hal ini juga
melanggar Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 386/ME.KES/SK/IV/1994
tentang ”Pedoman Periklanan : Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan,
Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tanngga, dan Makanan dan Minuman
2. Dokter dan
kliniknya sudah banyak beriklan di media cetak (surat kabar, leaflet di tempat
umum, spanduk).
3. Papan nama
yang tidak sesuai lagi dengan standar malah menyerupai iklan hotel, iklan
rokok, melebihi iklan media reklamenya itu sendiri.
4. Resep yang
tidak sesuai dengan standar, menyerupai memo.
5. Praktik dokter
sudah masuk di mal-mal dan pasar-pasar, layaknya salon kecantikan, apakah ini
merupakan keseimbangan mengikuti arus globalisasi dan pasar bebas.
6. Penyebaran
jenis tindakan yang dapat dilakukannya beserta tarif yang bersifat iklan
dipampang di depan umum, layaknya menu makanan di sebuah restoran.
7. Sudah banyak
calo penderita yang akan mendapatkan upah jika merujuk penderita ke dokter
tersebut, baik oleh tenaga kesehatan atau pun calo masyarakat umum, layaknya
calo di terminal bis ataupun stasiun kereta api.
8. Dokter sudah
banyak yang mendahulukan bayaran, jika tidak mampu maka tidak jadi ditolongnya,
apakah ini karena beastudi dokter yang sangat mahal, ataukan memang adanya
krisis etik dan pelanggaran etik itu sendiri.
Saya sebagai
mahasiswa hukum kesehatan dan warga dari rakyat Indonesia merasakan
keprihatinan karena kalau tidak segera dibenahi akan merugikan profesi
kesehatan itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya. Atau bila ternyata
kejadian di atas tidak merugikan baik internal profesi maupun eksternal
penerima pelayanan, malah menguntungkan kepada semua pihak, maka alangkah lebih
baiknya di lakukan perubahan dulu KODEKI yang ada, jadi tidak akan ada istilah
pelanggaran etik.
Jangan sampai
karena perilaku satu orang menjadi rusak profesi kedokteran yang terhormat itu,
istilahnya akibat nila setitik rusak susu sebelanga. Saat ini diharapkan dokter
yang baik taat ajaran agama, saleh, selalu mencintai sesama meringankan beban
orang lain, itulah harapan penderita, masyarakat, dan negara.
Semoga opini
ini menjadi bahan introspeksi bagi semua pihak yang terlibat khususnya Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang berkewajiban menegakkan Etik Kedokteran
Indonesia, dengan hati lapang dan tujuan yang positif.